Antara Mamak dan Tamak
Oleh Arief Kamil
Bagi sebagian pengguna facebook pasti tidak asing lagi dengan kalimat, “apa yang anda fikirkan,” tidak ada yang salah sebenarnya pada kalimat tersebut, malah sudah menjadi sebuah kebutuhan ketika seseorang menuliskan sesuatu di dindingnya agar orang lain tahu apa yang dirasakan saat itu.
Kemarin, ketika saya iseng membuka facebook, saya menuliskan sesuatu di beranda, kalimatnya begini “Pado bamamak kan nan kanduang elok bamamak kaurang lain “(dari pada memiliki paman kandung lebih baik menganggap orang lain sebagai paman).
Tentu ada alasannya mengapa saya menuliskan kalimat seperti itu, salah satunya dipicu oleh perasaan kecewa terhadap sosok mamak (paman) yang selama ini saya hormati. Mamak yang saya harap mampu membimbing dan mengayomi ternyata lebih memilih sibuk dan larut mengurus harta pusaka keluarga.
Tidak menunggu waktu lama, satu persatu komentar masuk ke profil saya, ada yang sekedar bercanda, ada juga yang mengomentari serius. Tapi yang paling membuat saya tersentak ternyata banyak komentar yang mendukung status saya, mungkin kisah mereka sama dengan yang saya alami, termaginalkan oleh sosok mamak yang seharusnya membimbing kemenakannya.
Ironis memang, falsafah klasik yang mengatakan “anak dipangku kamanakan dibimbiang“ (anak dipangku kemenakan dibimbing ) yang selama ini menjadi barometer hubungan antara seorang mamak dengan kemenakannya ternyata hanya sekedar ungkapan tanpa disertai realita yang nyata, kalimat basi yang berlawanan dengan keadaan sekarang ini.
Tidak bisa dipungkiri, hubungan kekerabatan yang dulunya sakral terbina sekarang mendadak runtuh karena beragam sebab. Masalah harta dan materi serta pertikaian keluarga menjadi alasan mengapa hubungan yang seharusnya terbina baik berujung kapada permusuhan.
Seorang mamak adalah perisai sekaligus pendidik bagi kemenakannya, bukan penjarah atau penadah harta pusaka. Mamak memiliki andil besar terhadap moral anak kemenakan, tidak lantas mempelesetkan, “anak dipangku kamanakan dibimbiang “menjadi“ anak dipangku kamanakan dijinjiang", seperti yang sering terjadi.
Sangat disayangkan, belakangan ini sering sekali terjadi pertikain antara mamak dengan kemenakan, penyebabnya tidak jauh dari persolaan harta dan materi. Hak kemenakan untuk dibina malah terabaikan karena ketamakan menguasai harta pusaka.
Memang benar, tidak sepenuhnya mamak di Minang seperti ini, masih ada sosok yang masih setia memegang peranan yang sesungguhnya, namun kenyataannya tidak sedikit juga yang bersikap sebaliknya.
Lantas bagaimana caranya agar peranan mamak kembali pada posisi semula, tidak lagi tamak dalam menguasai harta pusaka dan mengenyampingkan kemenakannya?“
Entahlah, mungkin Anda sebagai mamak yang bisa menjawab, ada dua opsi yang mungkin bisa menjadi jawaban, kembali berpatokan kepada falsafah semula atau malah semakin menyibukkan diri dengan harta pusaka? Mari kita renungkan bersama. []
Thu, 14 Oct 2010 @17:48
Tags: kolom
Tidak ada komentar:
Posting Komentar