Doa Sepertiga Malam
Arief Kamil
Sepertinya mimpi buruk itu benar-benar akan terjadi. PHK adalah kenyataan buruk yang paling ditakuti seluruh karyawan, ibarat kiamat yang datangnya terlewat cepat dan tak mungkin bisa lagi terelakkan. Besok pagi sepertinya aku harus segera mengemasi barang-barang, sebelum benar-benar di usir mungkin lebih baik mengundurkan diri dan siap-siap menerima kenyataan pahit, menjadi anggota baru ikatan pengangguran seluruh Indonesia.
Aku benar- benar bingung harus melakukan apa lagi andai boleh memilih antara tetap bekerja atau di pecat, aku pasti mengambil opsi yang pertama, meski gaji yang diterima harus dipotong setiap bulannya. Namun kenyataannya, pihak perusahaan tak pernah memberikan pilihan, keputusan mengurangi tenaga kerja sepertinya sudah menjadi pilihan yang tak mungkin bisa ditawar –tawar lagi. Sekitar lima puluh Karyawan terancam di PHK, termasuk aku yang baru bekerja selama lima tahun.
Kalau bukan karena terlanjur berjanji pada ibu mungkin keputusan perusahaan itu ku tanggapi dingin, dipecat boleh dipertahankan pun juga tidak masalah. Tapi karena mimpi ibu belum mampu ku penuhi, ancaman pemecatan itu seolah menjadi malaikat maut yang sewaktu-waktu bisa mengambil nyawa dari tenggorokan ku.
Tiga tahun yang lalu aku pernah berjanji pada ibu untuk memberangkatkannya ke tanah suci. Alhamdullilah, sampai sekarang uang itu sudah terkumpul sekitar lima belas juta. Aku menargetkan dua tahun lagi ibu sudah bisa naik haji, seperti mimpi yang pernah ku tanamkan dulu padanya.
Tapi sayang, mimpi ibu akan tetap menjadi angan-angan, hendak dicari ke mana uang tambahan sepuluh juta untuk melunasi ongkos naik haji, sedangkan sebentar lagi pihak perusahaan akan memutus hubungan kerja dengan puluhan Karyawan nya. Ketakutan itu semakin memuncak ketika sebagian Karyawan menyebut namaku sebagai salah satu Karyawan yang bakal dipecat. Ya Tuhan, mengapa ini bisa terjadi?.
“Ada lowongan bagus nih, kebetulan perusahaan nya membutuhkan ratusan tenaga kerja yang akan diberangkatkan ke Kalimantan,“ sela mas Budi yang membuat lamunan ku mendadak sirna.
“Kalimantan, kerja apaan mas?“
“Di kebun kelapa sawit, ya meski tempatnya di pedalaman, tapi gaji yang ditawarkan lumayan juga loh.“ Terangnya sambil menyerahkan selembar koran ke tanganku.
Ya Tuhan, bila memang ini jalan yang kau berikan lantas bagaimana nasib ibu , aku tak mungkin meninggalkan wanita tua itu seorang diri. Mengapa cobaan itu selalu silih berganti tiada henti?.Baru bulan lalu kau mengambil laki-laki yang begitu ku sayang, mengapa sekarang kau uji lagi hamba. Apa kau tak bosan menguji hambamu yang sama?. Cobalah kau alihkan pandanganmu pada mereka di sana. Para koruptor dan perampok hak anak yatim kau biarkan bebas berbuat dosa. Apa salah ku, apa dosa besar yang telah kulakukan. Please Tuhan, aku hanya ingin memberangkatkan ibuku ketanah suci, menunaikan seruan mu, itu saja. Apa itu terlalu sulit bagimu?
“Bagaimana, mau ikut seleksi?“ kembali mas Budi memudar kan lamunan ku.
“Lihat dulu mas, lagian pihak perusahaan belum mengeluarkan daftar nama-nama yang bakal di PHK, lebih baik kita tunggu dulu barang tiga atau dua hari lagi, setelah itu baru mengambil keputusan.“
“Jangan terlalu banyak berharap, apalagi kamu juga termasuk ke dalam lima puluh orang yang bakal di depak. Mendingan mulai cari tempat berlabuh yang baru dari pada terus menunggu.“
Saran mas Budi ada benarnya juga, tapi aku benar-benar bingung memutuskan pilihan. Melamar pekerjaan baru apa lagi jauh di Kalimantan jelas bukan pilihan terbaik, tapi tetap bertahan menunggu keputusan perusahaan juga bukan pilihan yang tepat.
***
Hari ini tidak ada kegiatan yang berarti, sebagian Karyawan memutuskan mogok bekerja. Aku yang terlanjur masuk, lebih memilih bertafakur di Mushala, curhat dengan Tuhan, mengadukan segala dilema yang bersarang tepat di hulu hati.
Bicara terpukul, mungkin puluhan Karyawan lain lebih merasakan dampaknya, karena mereka rata-rata sudah bekeraja puluhan tahun dan memiliki anak dan istri. Dibanding aku yang hanya anak kemarin sore, mungkin duka mereka lebih terasa.
Sedang larut bertafakur tiba-tiba dering ponselku berbunyi, nama Ratna tertulis dari balik layar.
”Assalamualaikum, bang tadi Ibu Tanya kapan kerumah? Beliau ingin sekali bertemu, rindu katanya.“
Aku ter-tunduk tak berdaya setelah membaca pesan singkat itu. Posisi ku benar-benar di ibaratkan sudah jatuh tertimpa tangga. Di tengah didera masalah, datang lagi masalah baru yang membuat ku semakin ter-sudut.
Ratna tidak salah, semua hadir karena niat yang sudah sekian lama kami karang, insya allah empat bulan lagi kami bakal melangsungkan pernikahan. Rencana itu sudah disusun sematang mungkin dan hanya tinggal menunggu waktu saja. Meski usia kami masih sangat muda, tapi aku dan Ratna lebih memilih melangsungkan pernikahan dari pada ter-jerat ke lembah dosa perzinaan.
Aku bingung harus mengatakan apa padanya, membatalkan rencana pernikahan tentu bukan jalan keluar yang tepat. Ya Tuhan, cobaan apa lagi ini?
Sepertinya Tuhan sedang gencar-gencarnya menguji ku. Dia sedang membuktikan kekuasaannya, memperlihatkan keagungan-nya, aku tahu itu.
“Walah, dicari ke mana-mana tidak tahunya di sini. Belum pulang?“ tanya Mas Budi sambil duduk disampingku
“Belum mas, aku masih mau berdebat dengan Tuhan.“
“Astagfirullah Rie, jadi kamu mau menentang Tuhan ?, taubat Rie, Taubat. Memang nya kamu punya kekuasaan apa hingga nekat menentang kebijakan yang sudah digariskan Tuhan,“ protes mas Budi menyayangkan keputusan ku.
“Jangan salah tafsir dulu mas, siapa juga yang mau menetang kebijakan Tuhan, aku hanya ingin berkomunikasi dengannya, ingin mencurahkan segala keluh kesah, mengemis kebaikan hatinya dengan shalat dan untaian doa.“
“Saya kira kamu sudah pe-de hingga nekat menentang sang pemilik hidup. Ya sudah, do’anya dilanjutkan saja,tapi ingat do’a kan saya juga semoga tidak jadi di pecat,“ ujar laki-laki separuh baya itu sambil pamit dan pergi entah ke mana.
Tidak berapa lama sepeninggal mas Budi, aku pun memutuskan pulang. Kadang aku merasakan perasaan bersalah karena telah berbohong pada ibu. Perempuan itu tidak pernah ku beri tahu tentang rencana pemecatan yang dikeluarkan pihak perusahaan. Aku lebih memilih berdiam diri dari pada jujur dengan keadaan yang sesungguhnya. Aku yakin kalau Ibu sampai tahu pasti membuat pikirannya terganggu.
Selesai salat Isa, aku kembali berkeluh kesah di dalam doa. Pintu kamar sengaja ku kunci dari dalam, lampu kamar pun ku matikan. Perasaan ku benar-benar terasa dekat dengan Tuhan, kami seperti berkomunikasi tanpa adanya jarak pemisah. Air mataku begitu saja jatuh tatkala mengingat dosa dan kelalaian yang pernah terjadi.
Gara-gara termotifasi memberangkatkan ibu ke tanah suci, aku telah meninggalkan kebisaan bersedekah, kegemaran yang sejak di bangku sekolah selalu ku lakukan. Selain tidak lagi menyantuni fakir miskin aku juga lalai dan sering meninggalkan salat wajib.
Mungkin Tuhan sedang murka hingga mencabut seluruh nikmat yang telah Ia titipkan padaku. Penyesalan memang ditakdirkan datangnya kemudian, andai rasa sesal itu beralih posisi, datangnya lebih awal mungkin aku akan lebih mawas diri dan tidak terjatuh pada lubang penyesalan.
Aku menyesal telah meninggalkan sedekah dan salat. Untuk menebus kesalahan itu, aku ingin berusaha pasrah menerima hukuman yang digariskan Tuhan, mungkin itu yang terbaik.
***
Di tengah tidur yang terlanjur lelap, tiba-tiba telingaku dikejutkan oleh suara dering jam weker yang terdengar gaduh, sambil berusaha menahan beratnya rasa kantuk ku arahkan pandanganku ke dinding kamar, jarum jam tepat menunjukkan pukul dua dini hari. Tanpa perlu diperintahkan lagi, sepasang kaki ku begitu fasih mengarut langkah ke arah kamar mandi.
Tiga bulan sudah aku luput melakukan ibadah sunah, shalat tahajud. Malam ini ku ingin memulai kembali kebiasaan yang telah lama ter-putus akibat ter-lena dengan nikmatnya dunia.
Seperti biasanya, setelah salat aku kembali berkomunikasi melalui untaian doa, keheningan malam semakin membuat hati terasa damai, kesombongan seperti enyah entah kemana. Yang terasa hanyalah pengakuan betapa kecilnya diri di hadapan Tuhan.
Aku terlanjur berdosa karena sekian lama jauh dari agama dan cenderung menyibukkan diri dengan urusan duniawi. Aku telah keliru karena lebih takut di PHK dari pada dicabut nafasku oleh sang pemilik hidup., padahal dunia hanyalah pelabuhan hidup sementara, tempat di mana manusia beristirahat dari perjalanan yang maha panjang, alam akhirat.
Seperti adanya bisikan gaib, berlahan aku mulai ikhlas dengan keputusan PHK yang akan dikeluarkan perusahaan. Aku yakin Tuhan telah mempersiapkan pekerjaan baru yang lebih bagus dari apa yang ku dapatkan sekarang. Pekerjaan yang tidak bisa memisahkan hubungan baik ku dengan sosok yang memberi segala nikmat.
***
Sambil berangkat ke kantor, diam-diam aku sudah mencanangkan sebuah misi, kebiasaan yang rindu sekali ku lakukan lagi. Ada sekitar dua juta uang dikantongku, rencananya uang itu ingin ku bagikan pada fakir miskin dan barisan peminta-minta yang biasa mangkal di jalanan.
Niat itu hadir ketika selesai salat tahajud malam tadi. Pintu hatiku benar-benar telah di buka untuk kembali menyantuni mereka, memberikan jatah yang sudah menjadi milik orang yang benar-benar berhak menerimanya.
Aku yakin ada rezeki yang harus dicari dan ada pula yang didatangkan orang lain. Aku paham alasan Tuhan menegur ku, aku sadar karena telah menahan hak orang lain dan membiarkannya mengendap yang akhirnya membuat ku enggan untuk berbagi.
“Sudah dapat kabar belum?“ di saat kakiku baru menyentuh pintu gerbang tiba-tiba mas Budi menghampiri ku, mimik wajahnya terlihat tidak seperti biasanya.
“Berita apa mas ?“ ujar ku penasaran.
Aku yakin kabar yang akan ia sampaikan adalah mimpi buruk yang selama ini mengancam kelangsungan hidup puluhan Karyawan. Tapi apa pun yang terjadi nanti aku akan berusaha ikhlas menerimanya, dunia belumlah kiamat bila hanya kehilangan sebuah pekerjaan. Toh di usia ku yang masih dua puluh dua tahun masih banyak kesempatan yang lebih baik lagi.
“Kita semua selamat, pihak perusahaan tidak jadi memecat kita,“ sambung mas Budi dengan wajah yang cerah.
“Ini benar mas, kok bisa ?“
“Kabarnya perusahaan berhasil mendapatkan pinjaman dari Bank “
“Alhamdulillah”
“Ternyata do’a kita dikabulkan Tuhan. Pertolongannya benar-benar tidak disangka-sangka”, ulas mas Adi sambil memeluk tubuhku.
Pertolongan Tuhan memang datang dari segala penjuru mata angin, sesuatu yang tak mampu diprediksi oleh akal sehat manusia. Padahal pihak Bank sendiri sudah berencana mengambil seluruh aset perusahaan karena hutang yang tidak bisa dibayar. Hari ini aku benar-benar banyak belajar dari keagungan Tuhan. Ia menjawab untaian doa ku begitu cepat, dan sekarang ternyata membawa keberkahan, doa dan harapan ku akhirnya di ijabah. Subhanallah, terima kasih Tuhan.
Padang, Pertengahan malam September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar