Si Jago Ngadat
Malam ini adalah momen terpenting di sepanjang sejarahku. Yang sepi tanpa cinta, tapi tidak jika Mimi mau menerima tawaranku untuk ngedet nanti malam. Maklum, gadis berjilbab itu adalah primadonanya anak-anak seantero SMA Persahabatan, yang pastinya tidak akan rela kalau aku mendekati bidadari cantik itu. Apalagi, posisiku yang biasa-biasa saja, akan kalah dari mereka yang datang dari keluarga berada. Belum lagi stelan, fasilitas lengkap serta embel-embel lain yang disokong dari orang tua mereka. Itu yang membuatku menjadi tak mungkin mendapatkan cinta bidadari.
Aku memang bisa bergabung di sekolah bertaraf internasional, namun itu tak lebih dari faktor keberuntungan semata, semua karena otakku yang orang bilang encer, selebihnya tidak bisa dibanggakan sama sekali.
Hampir sembilan puluh sembilan persen siswa Persahabatan datang dari keluarga kaya, minoritasnya, ya seperti aku ini. Mungkin karena alasan itu pula keberadaanku yang dekat dengan Mimi ditentang habis-habisan oleh sebagian besar mereka yang terang-terangan menyatakan suka pada gadis yang sama.
Sebagai manusia biasa yang pastinya tertarik dengan lawan jenis, kurasa reaksiku wajar bila sedikit lebay dengan kabar baik itu. Apalagi yang namanya nasib baik siapa juga yang mau menolak. Bermodal alasan itu kuputuskan serius mendekati Mimi dan membuat kecewa pesaingku. Demi mimpi itu aku rela menyisihkan jatah uang jajan yang jumlahnya tak seberapa sekedar mentraktir Mimi di warteg nanti malam
***
Malam ini seperti janji kami tadi pagi. Aku menjemput Mimi ke rumahnya, meski sedikit risih dengan penampilanku yang sedikit berbeda dari biasanya, tapi kurasa tidak masalah asalkan bisa bertemu dengan pujaan hati.
Sedikit peras keringat kuhidupkan motor tahun tujuh puluhan peninggalan Eyang yang akan mengantarku ke tempat sang gadis. Meski terkenal dengan tabiatnya yang jago sekali ngadat, tapi kali ini kuyakin motor butut itu mau diajak kompromi dan tidak bertindak aneh-aneh lagi. Ternyata benar, mesinnya hidup tanpa perlu membersihkan busi seperti ritual yang sudah-sudah. Aku pun berangkat dengan suka cita.
Trotoar, aspal jalan dan kendaraan lain sepertinya tersenyum ke arahku, meski belum bertemu Mimi, namun dukungan dari mereka sudah cukup membuatku yakin bila misiku bakal berjalan sukses.
Di tengah perjalanan, kurasa ada sesuatu yang telah fasih terjadi. Tunggangan besi yang aku naiki seperti terserang penyakit TBC, bawaannya batuk-batuk dan tidak berapa lama geraknyapun mulai melambat lalu berhenti begitu saja.
Tidak salah lagi, ini pasti tradisi lama, mogok karena ngambek kunaiki. Berbekal kesabaran yang masih tersisa, aku pun memeriksa busi dan kabel-kabel yang telah uzur, namun tidak satupun yang salah dari mereka.
Sebagai klimaksnya, aku gadai rasa malu dan ikhlas mendorong si bebek tua balik ke rumah. Untuk saja baru jalan setengah kilo, kalau sudah hampir sampai pastinya tidak lucu dan jelas akan menanggung malu.
Dengan begitu berat hati terpaksa kubatalkan misiku bertemu Mimi malam ini. Semoga saja gadis itu mau menerima alasanku besok pagi, yang mungkin saja membuatnya tertawa, marah atau malah kasihan karena masih saja memelihara motor butut yang pintar sekali kalau ngadat.
Ya, mau apalagi dari pada bohong dan bikin alasan. Pilihan jujur adalah keputusan tepat. Semoga saja Mimi mau mengerti.
Padang, Awal Juli 2010. Kenangan empat tahun silam bersama sesorang yang sekarang membuatku kecewa.(*)
Arief Kamil, pembaca inioke yang mengirimkan cerpen ke redaksi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar