Ada Cinta di Panggakalan Ojek
Oleh Arief Kamil
Hari ini masih seperti pagi yang sudah-sudah, tidak ada yang berbeda apalagi istimewa. Jejeran oplet, metromini dan puluhan Mahasiswa yang berdesak-desakan masih menjadi pemandangan rutin yang kerap kali kutemui dihalte ini. Hiruk pikuk, lalu lalang serta deru mesin kendaraan kian memperlengkap semberawutnya jalanan. Belum lagi kemacetan dikanan kiri yang tidak ada sepi-sepinya.
"Ojek…!“ tegur seorang pria sambil mengacungkan jari telunjuknya kearahku. Tanpa buang-buang waktu lagi kusambut tawaran baik itu walau harus duduk dibangku yang bersebelahan langsung dengannya. Sedikit risih bersinggungan, ku kucoba menggeser tempat dudukku kebelakang.
“Tidak usah risih, namanya juga naik ojek, tempat duduk boleh saja bersinggugan asal hati bisa terbang lepas tanpa ada kekangan,” gumam laki-laki itu seolah tahu jalan fikiranku.
"Bukannya begitu bang.”
“Jangan panggil abang lah, saya masih semester dua kok, kamu anak sastra kan?
“Loh…kok tau?”
“Ya tahu lah, fakultas kita kan bersebelahan. aku Irfan anak sipil”
“Oo..oo…. aku Cindy”
“Tumben tidak ikut berdesak-desakan seperti yang lain?’
“Ya kebetulan tidak harus datang pagi sih, biasanya juga berebutan seperti itu, kamu sendiri?”
“Sama… aku juga kebetulan, kebetulan kuliah siang”
“O..o”
Sedikit unik memang, tepat didepan mataku sekarang, kudapati seorang mahasiswa yang mau menyambangiku dua kesibukan sekaligus. Apalagi profesi itu saling bertolak belakang. Aku baru tahu, ternyata masih ada mahasiswa yang tidak malu melakoni pekerjaan sambilan, termasuk tukang ojek sekalipun. Padahal bila dilihat dari faktor gengsi, anak-anak kampus terkesan dari kalangan kelas atas, jangankan mau jadi tukang ojek, duduk rapi sambil mendengar penjelasan dari Dosen saja mereka seolah enggan. Bukannya memfonis tapi begitulah yang terjadi, Sebagain besar Mahasiswa yang datang dari kota cendrung meletakan dirinya dalam posisi Pragmatis yang mengandalkan kecakapan dalam berorientasi agar lebih menonjol di antara Mahasiswa yang lain, padahal kecenderungan itu hanyalah sebagai cara mencari muka di depan birokrat kampus. Ada juga yang kerjanya hanya di isi dengan kegiatan happy fun, berdandan habis-habisan serta memamerkan kekayaan orang tua. Bukannya memposisikan diri sebagai yang terbaik diantara mereka, tapi alhamdulilah aku termasuk kedalam golongan Mahasiswa yang kritis, mempunyai kecenderungan berfikir, berusaha menjadi orang biasa, tanpa menomor satu kan penampilan dan sokongan materi dari orang tua..
“Asli sini? " ujarku berusaha memecah kesunyian.
“Iya.”
“Kok mau sih jadi tukang ojek?”
Irfan hanya tersenyum memandangku dari kaca spion, lantas tersenyum kembali,. Aku tak tahu apa maksud dari senyuman itu.
“Ada apa?’, ujarku penasaran
“Kamu adalah orang kesembilan puluh sembilan bulan ini yang menanyakan pertanyaan yang sama.”
“Loh…memangnya kenapa, tidak boleh ?
“Boleh….,tapi bagiku pertanyaan itu lucu saja”
“Maksud kamu..?” aku benar-benar semakin bingung mendengar penjelasan darinya.
"Kok mau sih jadi tukang ojek?, pertanyaan itu seolah mengekstreditkan profesi tukang ojek dan dipandang sebelah mata oleh sebagian orang. Pertanyaan yang bias dibilang menyudutkan pekerjaan tukang ojek, ya…seperti tidak ada wibawanya sama sekali. Padahal jika berani jujur, tukang ojek pun dibutuhkan masyarakat kan?’
"Maaf……,maksudku bukan begitu,” aku terpaksa meralat ucapan karena argumen yang terlontar dari bibirnya memang benar.
“Disini saja,” ujarku saat motor mendekati gerbang kampus.
“Bawa saja,“ tangan kirinya menolak halus tiga lembar uang seribuan dari tanganku.
“Loh…kok?"
“ Hitung-hitung promosi,” Irfan pun berlalu dari pandangan.
***
Seperti daya magnet yang selalu tarik menarik, keinginku untuk bertemu Irfan lagi terasa begitu besar. Bukan karena kemarin diantar gratis tapi di dorong perasaan aneh yang sulit sekali ku artikan. Sikapnya yang berbeda, penampilannya yang serba biasa, cuek dan apa adanya begitu bertolak belakang dengan banyak makhluk di kampus. Baginya tidak ada kompetisi siapa yang kaya, siapa yang berkuasa dan dari keturunan mana seperti yang kerap terjadi pada kebanyakan mahasiswa. Entahlah, tiba-tiba aku bingung menyimpulkan perasaan yang sekarang bermain di hati. Terkadang cinta memang tidak mengenal usia, tidak mengenal harta dan kekayaan, terkadang cinta juga bisa membuat seseorang ikjlas merelakan apa saja demi mendapatkan cinta sejati. Mungkin benar cinta itu datang pada orang yang masih mempunyai harapan, walaupun mereka telah dikecewakan. Kepada mereka yang masih percaya, walau pun mereka telah dikhianati. Kepada mereka yang masih ingin mencintai, meski mereka telah disakiti sebelumnya dan kepada mereka yang mempunyai keberanian dan keyakinan untuk membangunkan kembali kepercayaan.
Apa mungkin aku telah terlalu jauh mengartikan pertemuan dengan laki-laki rendah hati itu, namun sepertinya tidak ada salahnya juga berharap, karena itulah yang baru bisa kulakukan.
“Mau ke kampus..? " Hampir saja jantungku copot seiring gema suara dari arah belakangku.
“Duh…aku kira siapa, Iya ada kuliah pagi.”
“Mau diantar?"
“Boleh, tapi aku tidak mau gratisan lagi, harga bensin kan belum turun”, aku berusaha memberi ultimatum”
“Iya, tenang saja.”
Berlahan tapi pasti motor pun mulai bergerak membelah aspal jalan. Ada dimensi lain yang terasa , entah dari mana datangnya, namun yang jelas keinginanku bertemu Irfan akhirnya terkabul juga.
Tidak biasanya debar-debar aneh bermain dijantungku bila bertatapan dengannya, debar itu kian terasa saat mendengar tutur katanya. Apakah aku benar-benar telah jatuh cinta? Mungkinkah keangkuhanku selama ini mulai runtuh karena kehadiran orang yang tidak begitu aku kenal?
“Tumben diam…, sedang sariawan?. O iya.. aku mau tanya, apa kamu tidak takut naik motor seperti ini?, kepanasan,berdebu lagi. Kasihan rambut dan kulit bersihnya”
“Biasa saja, kan bisa cuci rambut dan luluran."
“Iya, tapi aku heran saja kok ada cewek secantik kamu mau naik ojek?, biasanya diantar atau bawa mobil sendiri”
“Tidak perlu lah, kan masih ada angkot dan tukang ojek?, buat apa pamer-pamer, lebih baik pilih yang praktis, yang penting bisa sampai dan selamat pulang pergi”, ujarku diiringi sebuah senyuman dari laki-laki itu.
“Tapi naik taksi sepertinya lebih nyaman ?”
“Aku termasuk salah satu pengguna setia ojek, soalnya transportasi jenis ini anti macet. Pokonya selama bensin masih cukup dan pengendaranya masih menjaga keselamatan penumpang, aku akan tetap naik ojek,” ujarku menirukan semangat Soekarno saat berpidato.
“Tapi kadang aku tidak habis fikir juga dengan anak-anak sekarang. Gayanya persis seperti orang kaya, kekampus pakai mobil, penampilannya mirip artis. Padahal semua fasilitas yang mereka nikmati masih subsidi dari orang tua. Ujung-ujungnya kekampus bukan lagi belajar tapi sebagai ajang pamer menunjukkan penampilan”.
“Ya..begitulah, demi gengsi dan pamor sebagian dari Mahasiswa kadang mengabaikan posisi dan keadaan orang tua nya, tapi aku tidak termasuk loh !. Besok ngojek lagikan?, sekalian sama ongkos buat besok,” ujarku sambil menyerahkan uang sepuluh ribuan.
Aku setuju dengan yang dikatakan Irfan. Budaya konsumtif yang ada dalam diri sebagian Mahasiswa memang tidak terlepas dari watak manusia sebagai makhluk yang tidak pernah merasa puas akan segala hal. Perkembangan sosial, teknologi dan kekayaan turut mempengaruhi pola hidup yang berlebihan, inilah yang akhirnya mempercepat lahirnya watak konsumtif dan budaya khususnya dalam diri mahasiswa sebagai salah satu golongan menengah keatas yang ada di masyarakat, kondisi ini pun yang mengakibatkan semakin lebarnya jurang natara si kaya dengan si miskin.
***
Hampir setengah jam lebih aku berdiri dihalte. Puluhan metromini ku abaikan begitu saja meski sepi penumpang. Diseberang jalan tempat Irfan biasa mangkal tidak terlihat siapa-siapa, jangankan tukang ojek, sepeda motor yang biasanya berbaris menunggu penumpang pun tidak terlihat sama sekali.
" Ojek….” teriak suara dari sebelah kiriku, hatiku berdesir hebat karena nada suara yang terdengar begitu akrab ditelingaku. Namun ternyata perkiraanku meleset, suara yang kuyakini milik Irfan ternyata tukang ojek lain.
“Maaf mas, tukang ojek yang biasa mangkal diseberang sana kemana ya? ”, ujarku sambil menunjuk ketempat Irfan biasa menunggu penumpang.
“Oo…oooo itu, sekarang mereka lagi dirumah sakit, tadi pagi ada tukang ojek yang keserempet truk”
Jantungku berdebar kencang, seolah kejadian itu terjadi pada diriku sendiri. ”yang kecelakaan siapa mas?”.
“Si Irfan,” kalimat singkat dari pria itu membuatku berhenti bernafas.
“Memangnya adek kenal?”
“Dia teman saya, bagimana keadaanya mas?’
“Ya…saya tidak tau persis, rencananya saya juga ke rumah sakit, mau ikut?”, tawar laki-laki itu padaku.
Tanpa perlu pikir panjang lagi ku terima tawaran itu. Tidak terasa airmataku mulai jatuh, teteskan bening itu tidak bisa lagi ku tahan. Aku tak tahu apa alasannya hingga derai air bening itu jatuh begitu saja.
Dengan sedikit pertimbangan, ku batalkan rencana berangkat kekampus pagi ini. Dengan sisa-sisa keberanian yang tidak seberapa kuputuskan menyusul Irfan ke rumah sakit meski perasaan takut semakin jelas terasa.
Disertai langkah kaki yang sedikit lemah, tak henti-hentinya aku berdoa agar orang yang baru 3 hari ini aku kenal kondisinya tidak seburuk yang dibayangkan. Ya… dialah orang yang telah membuka hatiku untuk menghargai sesama, orang yang bisa membuatku nyaman bila berada didekatnya.
Aku berharap dipangkalan nanti kembali kutemukan tukang ojek yang selama ini hadir dalam hari-hariku, karena dipangkalan ojek itulah aku temukan sebuah rasa, sebuah cinta kuyakini benar-benar nyata kehadirannya. Mulai detik ini aku benar-benar yakin jika aku memang mencintai Irfan, aku percaya dengan bisikan hati kecil yang ku yakin datangnya dari Tuhan. Semoga saja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar