Lover Man
Oleh Arief Kamil
“Ayah ingin suatu hari nanti kamu jadi Pemain yang hebat, ditakuti lawan dan menduduki rengking teratas dunia. Kamu bisa berkaca dari prestasinya Taufik Hidayat dan Simon Santoso yang kerap kali mengharumkan nama Indonesia di berbagai turnamen dan kejuaraan,“ begitu komentar Ayah saat kami menyaksikan ulasan seorang komentator olahraga menjelang pertandingan Indonesia terbuka dimulai.
Aku hanya bisa menganggukkan kepala sebagai isyarat setuju dengan harapan besar yang ia semat kan di pundak ku. Paling tidak dengan gerakan tubuh itu ayah merasa yakin kalau keinginannya itu suatu saat akan ku penuhi.
Aku terpaksa berbohong pada ayah, karena sebenarnya tidak ada niat sedikit pun untuk menggeluti olahraga bulutangkis apalagi menjadi juara dunia seperti yang ia impikan. Andai saja malam itu kami menyaksikan pertandingan Cris Jhon di atas ring dan ayah menginginkan aku kelak seperti the dragon, pasti langsung aku iya kan karena memang aku terobsesi sekali menjadi seorang Petinju hebat.
Aku paham betul dengan ketakutan ayah, keluh kesahnya sangat beralasan. Lima tahun yang lalu abangmu tewas di atas ring saat perebutan gelar juara nasional. Itulah alasan ayah mengapa begitu keras menantang keinginanku mengadu nasib di dunia tinju.
Tapi aku yang dasarnya keras kepala tetap saja menggeluti olahraga yang satu itu hingga akhirnya berhasil mewakili Indonesia di kejuaraan tunju dunia di Jepang. Namun sebenarnya ada satu hal yang tetap saja menganjal keberangkatan ku ke negeri sakura, naluri dan perasaan seperti saling berbenturan yang akhirnya membuat ku sulit untuk menentukan pilihan.
Genap satu minggu sebelum keberangkatan, ayah belum juga ku beri tahu. Ada ketakutan tersendiri yang terasa kalau ayah sampai tahu dengan rencana itu. Aku tak ingin laki-laki tua itu kembali kecewa dengan keputusan yang ingin ku pilih.
Tapi untunglah Tuhan menitipkan seorang yang begitu mengerti keinginanku. Dialah Tari, perempuan keturunan Cina yang telah dua tahun dekat denganku. Hibungan kami hanya sebatas sahabat yang selalu mengisi satu sama lain. Di tengah dilema hebat yang ku alami, Tari hadir sebagai penyejuk jiwa. Dukungan serta semangat yang tak pernah ku dapati dari ayah, ia curahkan tanpa pamrih. Tari tidak pernah absen saat aku latihan, perhatiannya benar-benar tercurah yang jarang sekali ku temukan pada orang lain, meski itu pada keluarga sendiri.
“Ini aku bawakan jeruk,“ sambut nya ketika sesi latihan selesai. Aku memilih jeruk karena terlihat begitu segar, tanpa diminta jemari lentik nya begitu fasih mengupas buah yang aku minta.
Begitulah Tari, perhatian dan kebaikannya mampu mengobati rasa haus atas perhatian yang sekian lama aku harapkan dari sosok seorang ayah.
“Seminggu lagi kamu kan berangkat ke Tokyo, apa ayah sudah di kasih tahu ? “
Aku menggelengkan kepala.“ Sebaiknya Ayah tidak perlu tahu,“ jawabku sambil memandang nanar ring tinju.
“Sudah coba bicara ?“
“Belum, tapi aku yakin ayah tidak akan setuju. Aku juga tidak ingin dia mengingat kembali kejadian pahit yang pernah terjadi.“
“Doa orang tua sangatlah penting saat kita memulai sebuah usaha. Bukannya aku menggurui, tapi lebih baik dia tahu. Hal terburuk yang ada dalam pikiran kita belum tentu semua benar dan akan terjadi, tidak ada salahnya berdamai dengan rasa takut.“ saran Tari sambil mengusap peluh ku.
Ketakutan hebat yang bersarang tepat di hulu hati terasa sulit untukku lawan. Wajah ayah dengan ekspresi kecewa terpampang jelas di memori otak ku. Tapi sepertinya tekad ku sudah bulat, ayah tidak akan pernah tahu dengan rencana besar itu. Mungkin setelah gelar juara berhasil ku rebut, barulah rahasia itu aku ungkapkan padanya.
“Ya sudah, aku tahu kok kamu pasti bijak dalam mengambil keputusan,“ akhirnya Tari menyerahkan segala keputusan padaku.
Sejujurnya aku begitu menyayangi gadis Tari, aku jatuh cinta padanya. Bukan karena kecantikan, kekayaan atau pun kelebihan lain. Perasaan itu muncul atas dasar perhatian dan ketulusan yang ia berikan. Aku tidak tahu apa perasaan ini sama seperti apa yang ia rasa, namun yang jelas aku menikmati hubungan itu, walau orang sering mengira kami ada hubungan khusus. Teman tapi mesra, mungkin ungkapan itu pas dengan situasi yang kami jalani. Meski pun tanpa hubungan tapi aku dan Tari sudah seperti sepasang kekasih yang saling mengisi.
Sebenarnya ada niat untuk mengungkapkan perasaan yang terasa, namun sayang mentalku belum begitu siap untuk ditolak. Andai saja hal buruk itu terjadi tentu hubungan baik yang sekian lama terbina akan kandas begitu saja. Ke mana lagi hendak ku cari kehangatan yang sekian lama ku damba. Aku tak ingin itu hilang.
***
Aku terkejut saat Pelatih menanyakan julukan yang bakal dipakai saat pertandingan nanti. Aku bingung harus menjawab apa.
“Kamu harus ada julukan, publik mengenal Chris Jhon dengan sebutan the dragon, Muhammad Ali dan Mike Tyson juga punya julukan khusus. Setiap pertandingan besar julukan akan disebutkan mengiringi nama si petinju,“ ujar mas Tomi, Pelatih sekaligus Manajer ku.
“The Iron Man bagaimana?“ tawar Yogi sparing partner ku saat latihan.
Aku menggelengkan kepala, julukan itu begitu angker dan tidak cocok dengan kapasitas ku yang masih hijau di pentas tinju dunia.
“The Killer Man atau Mr. Stone sepertinya bagus. Ya terus apa lagi coba?“keluh mas Tomi yang terlihat menyerah atas sarannya yang ku tanggapi dingin.
“Lover Man,“ jawabanku ternyata mengejutkan banyak orang yang kebetulan sedang menyantap sarapan pagi.
“Serius ?“
Aku sebenarnya tidak yakin juga dengan kalimat yang baru saja terlontar, aku tahu nama itu sedikit aneh di belantika tinju dunia dan membuat orang yang mendengar bakal tertawa. Namun menurut ku julukan itu sesuai sekali dengan apa yang kurasa akhir-akhir ini.
Apa julukan itu tidak terlalu bagus untuk seorang Petinju,“ protes mas Tomi sambil menahan tawanya.
“Pokoknya aku hanya ingin sebutan itu.“
“Oke tidak masalah, semoga membawa berkah.“
Sebenarnya kalau dipikir-pikir lagi, agak janggal juga sebutan itu, tapi apa boleh buat toh tidak seorang pun yang berani mengubahnya, aku yakin.
Setiap manusia tentu membutuhkan cinta, kasih sayang dan ketulusan seseorang. Sebutan lover man sendiri ter inspirasi dari ayah dan Tari. Aku ingin sekali dicintai dan mencintai serta berharap dua sosok itu bisa mengasihi ku apa adanya. Khusus untuk Tari, aku ingin perasan cinta yang ku punya segera terbalas. Aku begitu haus akan kasih sayang, cinta yang benar-benar tulus tanpa kekangan.
Mungkin sangat ber-alasan permintaan itu, sejak lahir aku tak pernah sekali pun merasakan belai lembut seorang ibu, ia meninggal saat tubuhku masih memerah. Satu jam setelah melahirkan sosok jagoan nya, ibu pergi selama-lamanya. Air mataku sering jatuh jika mengingat kisah itu lagi, kadang aku cenderung menyalahkan Tuhan karena begitu cepat memanggil orang yang ku sayang. Namun untung lah setelah mengenal Tari, secara berlahan aku kembali menemukan perhatian dan sentuhan cinta dari sosok wanita.
***
Sebuah pukulan telak tepat bersarang diwajahku. Semua orang yang hadir kontan bersorak tatkala tubuhku terbaring lemah di atas ring tanpa tenaga. Pertandingan yang direncanakan dua belas ronde akhirnya terhenti di ronde ke-tujuh. Aku kalah KO, itulah kenyataannya.
Benar yang dikatakan Tari, doa orang tua sangatlah penting dalam melakukan segala sesuatu. Aku yang begitu angkuh dan sombong harus rela menjadi pecundang dan belajar melupakan mimpi yang terlanjur bersemayam.
“Tidak ada yang perlu disesali, aku yakin ini sebuah keberhasilan yang tertunda. Kamu masih memiliki kesempatan untuk bias menjadi Petinju yang hebat, “ bujuk Tari di ruang ganti.
Aku hanya bias membisu, diam tanpa kata. Kekalahan itu menghadirkan kekecewaan baru yang membuat ku kian ter sudut. Keinginan membawa pulang gelar juara dan menghadiahkannya untuk ayah sirna sudah.
“Sudahlah, aku ingin melihat kembali semangat yang dulu, semangat sang juara yang begitu ku kagumi. Aku janji sampai kapan pun akan tetap ada di samping kamu. Aku yakin suatu saat nanti Indonesia akan melahirkan Petinju hebat, juara dunia.“
“Aku telah gagal membuktikan pada ayah, kekalahan begitu menyakitkan sekali.“
“Setiap pemenang pasti pernah mengalami pahit nya kekalahan. Yang kalah pun suatu saat nanti pasti merasakan juga indahnya kemenangan. Yakinlah, masih ada kesempatan untuk membuktikan pilihanmu pada ayah, membuatnya bangga dengan jalan yang telah kamu pilih. “ Kembali Tari berusaha membangkitkan semangatku yang nyaris hilang.
Aku malu pada diri sendiri yang begitu lemah menerima kenyataan pahitnya kegagalan. Ternyata Tari lebih dewasa dan bijak menyikapi masalah.
“Ingatkan, enam bulan lagi kamu bakal mengikuti seagames? disanalah kesempatan terbaik untuk kembali bangkit dan meraih prestasi.“
Aku menganggukan kepala, apa yang di utarakannya tidak salah, karena kejuaraan dunia yang ku ikuti hanyalah ajang pemanasan sebelum tampil di seagames, target utama ku.
“Nah sekarang senyum dong.“ ujarnya yang ternyata mampu mendamaikan kegalauanku.
“Begitu kan macho, masa ada petinju yang tampang nya lesu.”
Aku tersenyum dan mulai belajar melupakan kejadian pahit yang baru saja terjadi. Aku janji sesampainya di Jakarta nanti aku akan berlatih sungguh-sungguh dan memberanikan diri mengungkapkan perasaan cintaku pada sang gadis pujaan. Di lihat dari bola matanya dan caranya menyemangati ku bias kusimpulkan kalau Tari juga memiliki perasaan yang sama seperti apa yang kurasa. Aku tak ingin menyia-nyiakan lagi kesempatan itu.
Aku boleh saja kalah di atas ring dengan sederet luka memar di wajah, namun belum tentu kalah di percintaan. Karena aku seorang lover man.
Padang, 22 September 2010
Tidak ada komentar:
Posting Komentar