Menangis di Udara
Oleh Arief Kamil
Dikampung, cemoohohan dan tatapan sinis sudah menjadi hal yang biasa kuterima. Harga diriku sudah terlalu sering diinjak, tidak dianggap dan di cap sebagai berandalan kampung. Dakwaan tukang bikin onar dan pengangguran merupakan pukulan yang sangat menjatuhkan yang akhirnya membuatku semakin tersudut. Andai saja boleh memilih, aku juga ingin seperti beberapa sahabatku yang sukses diperantauan, bukan menjadi preman kambuhan yang kerap kali diinjak keberadaannya.
Aku tidak mau menyalahkan siapa-siapa, bukan salah ibu dengan kemiskinannya, bukan juga kesalahan ayah yang tidak sempat membimbing anaknya hingga aku begitu jauh dari belaian kasih sayang, bukan juga menyalahkan Tuhan mengapa begitu cepat mengambil ayah dari hidupku.
Tidak ada gunannya mencari-cari kesalahn yang akhirnya hanya membuatku terlena dalam menanap hidup. Mungkin karena garis nasib saja yang belum berpihak, hingga cap pengangguran begitu melekat yang menjadi bayangan buruk yang sulit sekali kulepas. Dari lubuk hati yang terdalam aku juga ingin seperti mereka yang berhasil, membuat bangga ibu dan menghapus air matanya yang sudah terlalu sering menetes.
Bukannya tidak berusaha melepaskan diri dari belenggu nasib, namun mungkin Tuhan belum berkehendak. Aku yakin suatu saat nanti keberhasilan juga mampu kuraih, seperti Dino yang sukses bekerja diperusahaan besar di Jakarta.
Tidak bisa terhitung lagi sudah berapa banyak surat lamaran yang telah kusebar, sudah berapa kali juga tes penerimaan karyawan telah kupenuhi namun tetap saja belum menemukan hasil. Beruntung Tuhan menitipkan ketabahan dan jiwa pantang menyerah, hingga disetiap kali ditolak perusahaan, semakin besar semangatku untuk tetap mencoba dan pantang menyerah dan berbalik arah.
Dalam kamus hidupku tidak ada istilah pantang mundur apalagi menyerah dan berbalik menyalahkan Tuhan karena garis nasib yang buruk. Ibu adalah sosok yang selalu mendorongku untuk tetap bertahan, bersabar dan tidak mengalah dalam menjalani hidup. Wanita itu merupakan sosok panutan yang kerap membimbingku disaat lelah dan mengayomi disaat terjatuh.
Tuhan tidak akan pernah memberikan rintangan dan ujian yang melampaui kemampuan hambanya, setiap orang diberikan ujian sesuai kemampuan dan kapasitasnya. Aku percaya suatu hari nanti Tuhan akan tersenyum dan menjadikanku sebagai seorang pemenang karena sanggup melewati ujian dan rintangan darinya.
***
Bandara Internasional Minang Kabau begitu penuh sesak, ratusan orang terlihat berlalu lalang seperti berburu melawan waktu. Ini adalah kali pertama kakiku menginjak loby bandara, bagiku tempat ini terlalu asing dan tidak layak diinjak oleh orang-orang terbuang seperti aku dan ibu. Namun sepertinya penilaian itu lambat laun terbantahkan juga, buktinya kami ditakdirkan berada ditempat yang tidak pernah kami bayangkan sebelumnya.
Keberadaanku disini merupakan buah dari do’a ibu, usahaku akhirnya direstui Tujhan. Berkat kesabaran dan semangat pantang menyerah yang selama ini tertanam, akhirnya aku diterima juga bekerja disebuah perusahaan asing di Jepang.
Ibu adalah sosok yang pertama kali terlihat bangga dengan keberhasilanku. Kalau saja ayah masih ada mungkin ia juga bersikap sama, terharu dengan perjuanganku dalam membangkit batang taerandam.
Saat melepas kepergianku tadi, terlihat air mata ibu jatuh bersimbah membasahi pipi tuanya. Sekuat tenaga aku berupaya menahan tangis, sekedar membuktikan padanya tentang ketegaran hatiku, sesuatu yang selama ini ia tanamkan untukku.
Dibalut baju kurung yang agak terlihat lusuh, wanita itu tak henti memberiku nasehat, shalat dan mengaji adala dua hal yang paling ia tekankan saat aku berada dirantau orang.
Membayangkan raut wajah ibu, aku tidak saggup lagi menahan air mata. Kutumpahkan juga tangis itu di udara, isak keharuan membuatku larut dalam kenangan yang selama ini mengekori hidup. Cemoohan yang kerap menjatuhkan harga diri seketika bermain dibenakku. Kemiskinan yang akrab berteman menjadi slah satu alasan mengapa orang-orang begitu menganggap kami begitu rendah.
Tuhan ternyata maha adil, do’a yang sering digumamkan ibu saat shlat malamnya ternyata di ijabah. Tuhan tidak pernah tidur dan tidak hanya memberi ujian semata pada umatnya. Bagi manusia yang sabar, ikhlas dan berhasil melewati rintangan pasti diberikan kado terindah.
Keberangkatanku bekerja ke negeri Sakura menjadi awal dari sejarah baru yang ku yakin mampu mengangkat harga diri kami dikampung. Keinginan ibu untuk memiliki rumah sendiri kuyakin bukan lagi sebatas angan. Insyaallah ibu akan kubeliakn sebuah rumah hasil dari jerih payahku bekerja di perantauan.
Ibu, orang yang pertama kali kubahagiakan, air mata dan deritanya selama ini sudah selayaknya kuhapus. Tanpa terasa air mataku semakin deras mengalir, bayang-bayang perempuan itu begitu jelas bermain, raut wajahnya tidak pernah hilang sebelum kubisa membuatnya tarus tersenyum dalam menjalani siasa usia. Demi Tuhan ku bersumpah, hidup dan matiku hanya untuk ibu, wanita yang sangat ku cintai. *
Padang, 21 Agustus 2010, Seorang sahabat bertanya, "Ya Rasulullah, siapa yang paling berhak memperoleh pelayanan dan persahabatanku?" Nabi Saw menjawab, "ibumu...ibumu...ibumu, kemudian ayahmu dan kemudian yang lebih dekat kepadamu." (Mutafaq'alaih).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar