CERPEN
________________________________________
Ill Capitano
Oleh : Arief Kamil | 25-Des-2009, 09:35:57 WIB
Nama – nama pemain yang akan memperkuat tim sekolah pada final turnamen KI Hajar Dewantara Cup pekan depan sudah dikantongi pelatih. Kabar dukanya nama besar Reza Heranata dikabarkan tidak masuk dalam daftar pemain yang dipanggil pelatih. Hal itu jelas merupakan pukulan terberat, mengingat selama ini Reza dikenal sebagai Ill Capitano-nya SMA Merah Putih dan jarang absen dalam setiap turnamen.
Entah apa alasan pelatih mengganti posisinya dengan Ben yang jelas – jelas kemampuannya belum teruji. Jika dilakukan survei terhadap seluruh siswa tentang pemain mana yang pantas memperkuat tim sekolah, bisa dipastikan nama cowok pemilik tinggi 170 senti meter itu berada pada urutan pertama. Bukan karena kolusi, nepotisme apalagi koncoisme namun karena prestasilah mereka menjawab jika Reza benar-benar pantas mejadi pilar utama tim.
Tapi bagaimanapun juga semua ada ditangan pelatih, keputusan sudah bulat dan Reza-pun harus rela duduk dibangku penonton menyaksikan rekan – rekannya berjuang dilapangan hijau.
“ Sebenarnya gue belum pantas masuk dalam skuat sekolah “, ujar Ben disaat sesi latihan selesai.
“ Siapa bilang ?, lo ada kemauan, punya semangat dan itu dibutuhkan tim sekarang “.
“ Lo salah, kemauan dan semangat saja belumlah cukup kalau tidak dibarengi skill dan tekhnik yang memadai. Gue belum pantas, lo jauh lebih dibutuhkan “, aku Ben yang sebenarnya tidak yakin juga dengan pilihan pelatih.
“ Sepak bola bukan permainan individu, tapi kerja sama tim “, tutur Reza berusaha diplomatis dalam jawabannya.
Menurut prediksi anak – anak, materi pemain yang ada sekarang tidak lebih baik dari tahun kemarin, dimana Reza tampil sebagai top skor, pemain terbaik sekaligus berhasil mengondol gelar juara. Karena alasan itu juga banyak yang pesimis bila gelar juara bertahan bisa dipertahankan untuk tahun ini.
***
Terjawab sudah keraguan anak – anak tempo hari. Kekalahan tipis 1- 0 dari SMA Erlangga pada leg pertama membuat peluang mempertahankan gelar juara terasa sedikit berat. Belum lagi ditambah dengan cideranya Rio, kiper utama pada pertandingan kemarin, yang jelas membuat peluang itu sedikit tertutup. Untunglah pelatih segera mengevualuasi tim dan mencoret beberapa nama yang tidak memberikan kontribusi yang berarti. Hanya 60 % wajah lama yang bertahan, sisanya diganti pemain baru sebagai pengganti pemain yang tereliminasi.
Sore nanti rencananya tujuh orang pemain baru bakal diseleksi lagi, melengkapi quota pemain yang ditetapkan. Namun sayang disana tidak tercantum nama Reza seperti yang direkomendasikan seluruh siswa. Entah karena alasan apa pelatih lebih memilih pemain baru yang masih tingkat satu dibanding anak – anak tingkat tiga yang pernah memperkuat tim pada tahun – tahun sebelumnya.
Namun belakangan tersiar kabar yang begitu mengejutkan, Jeri yang notabenenya anak ketua yayasan-lah yang menyarankan kepada pelatih agar tidak memakai jasa Reza, teman satu kelasnya itu. Mungkin karena takut bersaing menjadi top skor atau enggan memberikan ban Kapten yang selama ini sulit Ia dapatkan. Maklum selama ini Reza selalu dipercaya sebagai Jenderal lapangan yang kerap kali menciptakan gol pada setiap pertandingan. Wajar kiranya, selain licin di areal finalti lawan, Reza juga bisa beroperasi di setiap posisi dan bagus dalam bola – bola atas. Dan inilah yang ditakutkan Jeri.
***
Sungguh diluar dugaan Reza sebelumnya. Satu hari menjelang leg kedua dimulai, bang Rendi sebagai pelatih meminta kesediaannya untuk memperkuat tim besok sore. Reza yang memang ingin sekali tampil membela tim sekolah menyambut baik tawaran itu. Alhasil Iapun memperoleh kesempatan sebagai starter sekaligus Kapten menggantikan Jeri yang cidera di saat sesi latihan.
Tepat pukul 4 perhelatan finalpun dimulai.
Strategi yang diterapkan pelatih berjalan mulus selama lima belas menit awal. Reza sebagai stiker bahu membahu dengan pemain tengah untuk menggedor pertahanan lawan. Bagian belakangpun terlihat solid menjaga daerahnya. Permainan bola bola pendek disertai counter attac diterapkan dengan baik tanpa kesalahan, tapi sayang gol yang ditunggu – tunggupun belum tercipta dan malah melalui serangan balik yang tiba – tiba, anak – anak Erlangga berhasil menusuk daerah pertahanan Merah Putih. 1 – 0 untuk lawan.
Tersentak dengan gol yang lahir secara tiba – tiba, anak – anak Merah Putih-pun sedikit down dalam irama permainan. Hal itu terbukti dengan tumpulnyanya serangan demi serangan. Penguasaan bolapun sering putus di lini tengah. Mendapati kelemahan itu kubu lawan semakain antusias menekan. Hampir seluruh pemain tengah dan stiker lawan berada dijantung pertahanan Merah Putih. Namun siapa sangka dari situlah lahir sebuah gol balasan, bola buangan dari pemain belakang dikirim kedepan yang telah ditunggu Reza di lapangan tengah. Ia lantas mengecoh tiga pemain belakang dan menceploskan gol cantik ke gawang lawan, 1 – 1.
Setelah eksekusi gol pertama, mental anak – anak Merah Putih kembali bangkit. Buktinya gol keduapun lahir nyaris sama seperti gol yang pertama. Berawal dari skirimis di daerah sendiri dan disambut operan bola ke depan, aktornyapun masih Reza yang sore itu bertindak sebagai single stiker. Setelah gol ketiga terjadi seranganpun silih berganti lahir dari kedua tim, namun sampai akhir babak pertama usai skorpun tidak berubah, 2 – 1 untuk SMA Merah Putih.
Lima menit babak pertama berjalan Reza yang lepas dari jebakan offset lawan berhasil menjauhkan jarak dengan gol indah dari kaki kirinya. Praktis setelah gol ke tiga terjadi kualitas permainanpun sedikit menurun dan bahkan menjenuhkan. Pelanggaran – pelanggaran yang tidak penting sering terjadi, serangan kedua tim sering putus di lapangan tengah. Dan…waktu 2 x 45 menitpun berakhir, sang pengadil menutup permainan dengan kemenangan SMA Merah Putih dengan agregat skor 3 – 2.
Baru saja keluar dari lapangan seluruh pemain dan penonton mengejar sang pencetak hatrik dan lantas mengangkat tubuhnya, bagi mereka Reza datang sebagai dewa penyelamat sekaligus pahlawan dengan tiga gol –nya dilapangan. Sebuah hari yang begitu beratpun berjalan mulus, sang ill capitano-pun tersenyum atas kemenangan timnya yang juga sebagai ajang pembuktian diri yang mampu menghadirkan kemenangan untuk SMA Merah Putih.
*Padang Besi Desember 2009.
Kapan lagi TIMNAS Indonesia bisa mengharumkan negeri ini?, ( dari kami yang rindu prestasi TIMNAS....)
CERPEN
________________________________________
Satu Diantara Dua
Oleh : Arief Kamil | 24-Des-2009, 15:49:11 WIB
Kesalahan terbesar dalam hidupku adalah mengenal dan akhirnya mencintai Saysa. Andai saja takdir berkata lain, mungkin pertemuan itu tidak pernah ada dan berakhir dengan siksaan yang terasa perih. Dulu, tiga tahun yang lalu di saat hati mulai berani bersuara, di saat jiwa menentukan pilihannya, di saat itu pula semua berakhir derita. Menentukan satu diantara dua pilihan memang terasa sulit dan teramat sulit. Andai saja Saysa dan Tata tidak hadir secara bersamaan mungkin penyesalan ini tidak pernah ada. Saysa datang dengan segala perhatian dan ketulusannya menawarkan ikatan cinta yang tak kuasa kutolak. Sementara Tata menjelma dengan kesederhanaan serta kemandirian, yang juga memaksaku untuk menyambut uluran cintanya.
Kebimbangan serta merta mendera hingga kuputuskan memilih Tata sebagai pelabuhanku yang terakhir.
Pertanyaan yang masih saja tersisa, mengapa dua sosok itu begitu bersemayam direlung hati, mengapa Tuhan menghadirkan dua bidadari yang nyaris sama hingga memaksaku memilih satu diantara dua. Bila saja diantara mereka mau menjadi yang kedua, tentunya kebahagiaan akan terasa sempurna. Saysa dan Tata adalah dua cinta yang ingin kumiliki, ku tak rela melepas satu diantara mereka, namun sejatinya hidup adalah pilihan yang ditasbihkan untuk memilih. Dan dengan berat hati akupun terpaksa memilih.
***
Pagi ini hampir saja kesabaran menemui titik nadir. Andai Saysa tidak membawaku menjauh dari laki–laki brengsek itu, mungkin dua jotosan sudah bersarang telak diwajahnya. Sebenarnya masalahnya sepele karena laki–laki itu dengan pede-nya mengandeng tangan Saysa persis di depan mata kepalaku. Kalau dipikir–pikir, mungkin tidak ada salahnya karena Saysa bukan siapa–siapa bagiku, namun rasa cemburu begitu saja hadir hingga mengalahkan akal sehat.“Kamu itu apa–apaan sih!, main labrak saja, kan malu di depan banyak orang“. “Tu anak nggak sopan banget, tau nggak. Masa megang–mengang tangan kamu begitu“.
“Memangnya kenapa?, ada yang salah?“
Aku tidak mampu menjawab. Pertanyaan itu sama saja menjebakku untuk mengatakan rahasia hati yang sesungguhnya.
“Rio itu sepupu Aku. Lain kali tanya dulu dong, nggak main labrak gitu“. Tanpa permisi lagi Saysa begitu saja pergi dari hadapanku. Ada kekecewaan yang kutemukan di wajahnya.
“Sya, andai kamu tahu betapa aku menyayangimu, mungkin situasinya akan lain…, tapi… “. Gumamku dari bilik dinding hati.
***
Hampir tiga tahun berlalu, selama itu pula aku tidak lagi bertemu Saysa. Ia seolah hilang ditelan bumi. Kepergiannya sebuah luka yang entah kapan akan sembuh. Ia pergi dengan membawa segenap rasa yang sampai sekarang masih rapi ku simpan. Di sisi lain Tata masih saja terlihat tegar dengan sikapku yang sedikit berubah. Kesabarannya tidak tertandingi siapa pun, meski menghadapi aku yang nyatanya mulai menghianati cintanya.
Gadis itu selalu menjadi sasaran dari kecemburuanku terhadap Saysa yang didekati laki-laki lain. Padahal Ia tidak tau apa–apa dan hanya korban dari dua cinta yang kupuja. Aneh…
Entah sampai kapan semua akan berakhir, rasa sayang terhadap Saysa menandingi rasa cintaku pada Tata. “Tuhan berikankalah jawaban Mu dari dilema yang kini mendera. Tetapkan hatiku dari dua pilihan yang tawarkan“, doaku sambil menatap Foto Saysa dan Tata secara bergantian. *
Padang, 24 Desember 2009Spesial untuk Nessa Fauziah... Aku sekarang hanya memiliki satu cinta...Aku yakin.
CERPEN
________________________________________
Tak Mungkin Berubah
Oleh : Arief Kamil | 24-Des-2009, 09:28:38 WIB
Bagaimana rasanya memiliki kekasih yang menekuni profesi penyiar radio?, menurutku sama saja, tidak berbeda dengan mereka yang bekerja sebagai guru, Bidan, Karyawan Bank, toko atau pengangguran sekalipun. Tapi memacari penyiar radio sepertinya sedikit membutuhkan kesabaran yang ekstra dan harus kebal dengan yang namanya rasa cemburu.
Sebagai penyiar di salah satu stasiun radio dengan raihan pendengar terbanyak, Sasa memang mendapat tempat dihati pendengarnya. Wajar sih, selain cantik, punya modal suara yang bagus, Sasa juga dikenal dekat dengan pendengar. Apalagi baru – baru ini gadis manis itu juga melebarkan sayapnya sebagai host disalah satu tv swasta lokal. Mungkin atas dasar itulah banyak fans yang tertarik untuk mendekat. Indikasinya bukan saja terjadi pada saat off air, saat line interaktifpun banyak pendengar cowok yang menggoda dan malah sampai meminta nomor telepon segala.
Bukan itu saja, pertanyaan pribadi seperti “ sudah punya Pacar “ atau terang – terangan mengajak ketemuan juga sering terjadi. Malah belakangan ada pengagum rahasia yang setiap saat meneror gadis itu melalui telefon atau SMS. Namun syukurlah kejadian itu tidak berlangsung lama dan diam dengan sendirinya.
Hubunganku dengan Sasa sudah berjalan 2 tahu.
Tidak ada masalah yang berarti sebenarnya. Akupun sudah biasa menghadapi fans Sasa yang terkesan nekat dan rada gila. Bagiku hal – hal seperti itu sudah biasa di dunia intertaint yang wajib menghibur siapapun. Saking fasihnya dengan keadaan, rasa cemburupun sudah terasa kebal dan lenyap begitu saja. Aku percaya Sasa tidak mungkin mengkhianati hubungan yang telah lama terbina.
Kemarin pas pulang bareng, Sasa bilang kalau Ia sedang gencar didekati tiga cowok secara bersamaan. Anehnya mereka datang dari anak perusahaan yang sama. Aku hanya tertawa sambil membuang muka karena tidak tega melihat tingkahnya yang konyol.
”Trus gimana dong?“, protes Sasa menyadari sikapku yang terlihat dingin.
“Pacarin aja, siapa tau ada yang cocok“. Sedikit keki gadis itu mencubit pinggangku, “ beneran nih…”
Aneh ya.., Adit, Tio dan Rian ternyata punya perasaan yang sama, targetnyapun juga sama”.
“Kayanya nggak aneh, berarti mereka tau siapa cewek yang tepat untuk dijadiin pacar “, jawabku singkat. “Terus aku harus ngapain dong?“, mimik Sasa yang mirip orang linglung. "Bilang saja kalau kamu sudah punya cowok, itu saja kok repot?”
“Mereka sepertinya nggak mau tau, buktinya sudah ngomong gitu tetap aja nggak ngaruh, malahan Adit selalu ngajak pulang bareng. Ditolak mulu kayanya nggak enak juga“.
Tidak bisa kupungkiri sejak kehadiran Adit, rasa was–was yang tidak pernah ada sebelumnya tiba–tiba hadir tanpa pernah diundang. Usahanya yang gencar mendekati Sasa merupakan ancaman serius yang tidak bisa kudiamkan begitu saja. Bermodal tampang yang agak lumayan, kameramen andalan dan juga tercatat sebagai salah seorang karyawan di perusahaan BUMN terkemuka, dijadikan modal baginya untuk merampas Sasa dari tanganku. Dibanding Jo dan Tio, Adit sepertinya masih ada peluang untuk mempengaruhi Sasa. Bukannya tidak percaya dengan cintanya Sasa tapi, yang namanya cewek bisa saja tergoda dan aku tidak menutup kemungkinan untuk itu.
***
Sepertinya rasa was–was selama ini sedikit menemukan titik terang. Kian hari usaha Adit mendekati Sasa semakin gencar saja. Seperti sore kemarin misalnya, cowok itu berhasil meluluhkan hati Sasa dan sukses mengantarnya pulang. Salahnya sasa tidak memberiku kabar kalu Ia diantar Adit. Ujung – ujungnya aku yang kadung sampai di studio harus berbalik arah dan menyesali usaha yang berbuah sia- sia.
Semenjak kejadian itu sikap Sasa sedikit berubah. Banyak alasan yang kudapati disaat mengajaknya pulang bareng pas siaran malam. Ada saja jawabannya, menyusun list lagu-lah, mengisi suara untuk iklan-lah, intinya Sasa berusaha menolak setiap tawaran diriku. Setiap ditelpon jawabnya selalu sumbang, SMS – pun kadang jarang dibalas.
“Besok siaran sore kan?, pulang bareng yuk..”, tawarku saat apel malam Minggu kerumahnya. “Duh…lagi banyak tugas, bikin list buat seminggu. Palingan pulangnya habis magrib"
”Ya sudah, habis magrib saja aku jemput “
“Nggak usah, takut ngerepotin “, ujar Sasa seperti menghindar.
“Kok gitu?, jam segitukan angkot susah?“
“Iya sih, tapikan masih ada ojek“.
Aku hanya bisa pasrah dengan jawaban yang tidak mengenakan darinya. Entah kenapa perubahan itu begitu cepat terjadi. Sasa yang dulunya perhatian dan hangat tiba – tiba saja berubah 180 derajat. Apa yang salah?.
***
Sore ini tidak sengaja aku lewat di depan studio, tidak ada rencana sama sekali. Sepertinya ada yang menggerakkan hatiku untuk merubah jalur pulang dari jalan biasanya. Maklum kalau tidak menjemput Sasa aku lebih memilih jalan lain yang jauh lebih longgar dari kemacetan.
Tepat didepan radio mataku menangkap sesosok makhluk yang begitu ku kenal. Ia terlibat perbincangan serius dengan seorang cowok. Tidak begitu lama merekapun berangkat dengan sebuah sepeda motor. Hatiku berdesir hebat menyadari apa yang baru saja terjadi dihadapanku. Rasa takut serta merta mendera, irama rasa cemburu terbentang jelas tatkala kusaksikan kemesraan diantara mereka yang merobek hati. Apa ini balasan dari kesetianku selama ini?, inikah akhir dari cerita cinta yang kujaga.
Dengan sisa hati yang mulai remuk aku lantas meninggalkan mereka yang larut dalam drama cinta yang membuatku lirih. Tidak kusangka Sasa begitu mudah menggadai cintanya. Mungkin sudah saatnya juga Ia mencari cinta yang lain dan melupakan cintaku yang menurutnya telah usang. Namun bagiku cinta ini tidak pernah berubah, tidak mungkin dan takkan pernah. Untuknya mungkin sebaliknya. Biarlah, Aku iklas melepasnya. *
Padang, 24 Desember 2009
CERPEN
________________________________________
Butterfly
Oleh : Arief Kamil | 21-Des-2009, 03:03:07 WIB
“Akhirnya...,“ dengan penuh kemengan kuakhiri penantianku selama ini. Tuntas sudah akhir perjuangan setelah menghabiskan waktu selama lima tahun. Alat kecil ini menjadi bukti dari percobaan demi percobaanku yang selalu saja gagal sebelumnya. Butterfly, sepertinya nama itu pantas kuberikan karena bentuknya yang unik, menyerupai kupu–kupu cantik berwarna ungu.
Benda ini adalah hasil terobosan terbaru yang dapat mengetahui isi pikiran, perasaan dan jerit hati orang lain. Dengan hanya menghubungkan sepotong kabel kecil dari alat pendengar ke komponen butterfly, alat ini telah dapat berfungsi, fantastis dan sungguh luar biasa. Mengapa tidak? Untuk mempersiapkan ide dan komponennya saja membutuhkan waktu sekitar empat tahun, belum lagi materi dan lalapan buku yang kubaca, sudah sepantasnya aku bangga dari jerih payah selama ini.
Sebenarnya sistem kerja butterfly sederhana saja, cuma memproses gelombang otak seseorang dalam proses berfikir menjadi gelombang listrik, selanjutnya gelombang listrik digarap lagi menjadi gelombang suara oleh speaker mini kreasiku. Selanjutnya gelombang otak akan terpencar dengan frekuensi yang bervariasi, tergantung apa yang ada pada pikiran dan perasaan ketika itu. Memang sih suara yang terdengar dari head phone tidak terlalu jelas dan bahkan sulit dimengerti. Ya.. mau tidak mau harus menggunakan telepati dan insting juga agar bisa dikenali maksud yang disampaikan. Setelah itu, kita hanya mencerna ke mana arah pembicaraan dan isi pikiran orang yang dimaksud. Itu saja.
Butterfly tercipta karena beberapa sebab di antaranya karena belum ada seorang pun yang mampu menghasilkan karya yang sama. Selain itu juga didasari oleh masalah harga diri sebab selama ini aku selalu saja menjadi bahan ejekan teman–teman di kampus karena kakiku yang pincang. Anak –anak menganggap orang seperti aku tidak layak memegang gelar mahasiswa seperti posisi mereka. Dan... alasan ketiga adalah karena Vivi, gadis manis teman masa kecilku.
***
Sekarang saatnya uji coba. Meski sudah larut namun niatku untuk mencoba penemuan ini tidak lagi bisa tertahan. Nah... yang menjadi kelinci percobaanku adalah mbak Desi yang sudah terlelap di kamarnya. Suasana begitu sepi, maklum perempuan cantik itu bukan tipe pendengkur seperti Mama. Sedikit hati–hati kubuka pintu kamarnya, tidak terkunci. Ya... begitulah kebiasaannya, selalu saja lupa mengunci pintu. Hanya menyisakan jarak sekitar lima puluh centimeter antara aku dan mbak Desi, tiba–tiba butterfly di tanganku mulai berfungsi. Mula–mula terdengar suara mendenging, disusul dehaman, desahan, lalu suara samar.
“Jangan Ben, jangan lakukan itu, Aku nggak mau,“ butterfly di tanganku menangkap sebuah suara yang bersumber dari hati mbak Desi.
“Jangan tinggalkan aku Ben, jangan!“ Hu... uh... Aku kira tadi adegan tujuh belas tahun ke atas, ternyata cuma adegan kolosal perpisahan. Setelah merasa puas, kulangkahkan kaki keluar pintu kamar. Ternyata butterfly karyaku mampu berfungsi seperti yang kuharapkan. Cuma sedikit penyempurnaan lagi, tentang bagaimana menyembunyikan alat ini dari pandangan orang lain. Nah… besok pagi tibalah giliran Vivi yang bakal menjadi target operasiku. Semoga saja alat ini bisa membaca isi hatinya, sehingga menambah keyakinanku dalam melafadzkan cinta padanya.
***
“Celaka..., gara–gara mengerjakan butterfly semalaman, tugas Bu Tia lupa kukerjakan. Tanpa buang–buang waktu lagi ku-samperin gadis yang duduk tepat di belakangku.
“Vi, lihat tugas Bu Tia dong,“ ujarku padanya.
"Duh… kok Ari sih yang minjam tugas gue, coba Diki kan sekalian pe – de – ka – te,“ gumamnya yang tertangkap oleh benda yang aku pakai. Aku benar–benar terkejut mendengar kejujurannya yang ternyata malah mengagumi teman sebangkuku.
“Nih.., loh kenapa telinganya? Lagi dengar MP3, ya?“ balas Vivi menyadari keanehanku hari ini.
“Iya, kebetulan lagunya bagus–bagus,“ ujarku berbohong.
“Duh… gue kok dicuekin gini sih, padahal kan ngobrol sama Ari cuma basa–basi doang, sekedar memancing perhatiannya Diki. Huh... bete,“ kembali headphone di kupingku menangkap sinyal dari hati Vivi.
Hilang sudah semangtaku pagi ini, rasa kecewa semakin lengkap terasa ketika kutahu isi hati gadis itu sebenarnya.
“Lo mau ngomong sama Diki, Vi," ujarku memancing Vivi untuk jujur sepeninggal Diki keluar kelas.
“Loh… kok Ari bisa tahu. Bener, gue pingin banget ngomong sesuatu, ingin mandangin wajah gantengnya,“ jawab Vivi yang tidak terucap di bibirnya.
“Lo naksir Diki ya? Kembali kulempar pertanyaan padanya.
“Lo ngomong apaan sih?“ jawabnya berusaha berpura
“Duh… andai Diki yang tanya pasti gue jawab iya...”
***
Dengan jutaan rasa kecewa kulumpar butterfly ke dalam got yang penuh dengan tumpukan sampah. Tiba–tiba kesadaranku seketika pulih, tidak ada gunanya memakai alat itu hanya sekedar mengetahui isi hati orang lain. Dengan langkah sayu kuberjalan menyusuri koridor kampus, ada janji yang tersemat di hatiku untuk tidak akan lagi mendekati Vivi, membuang rasa yang terlanjur melekat padanya. Ya... aku tahu dia tidak akan mungkin kumiliki. Thanks butterfly karenamu, aku tahu isi hati gadis pujaanku sesungguhnya. (*)
Padang Besi, 20 Desember 2009
CERPEN
________________________________________
Tuesday
Oleh : Arief Kamil | 19-Des-2009, 22:29:55 WIB
"Telat lagi…, belum sempat kubuka helm, tiba–tiba Mia menodongku dengan sebuah pertanyaan. Sebenarnya tidak merupakan sebuah masalah, karena ku tau gadis itu pasti keriput menunggu kedatanganku yang telat satu jam dari janji semula.
" Percuma, Dika-nya keburu pergi "
" Loh, kok nggak ditahan dulu sih? "Tahan?" emangnya gue Polisi?. Kaya nggak tau aja, artis sekaliber Dika pasti jadwalnya padat. Emangnya lo? ngaret. Janji jam dua lo nongol jam tiga".
"Ya..itu bukan kemauan gue, namanya juga accident gue kudu ngapain coba?"
" Pasti ban motor lo bocor lagi? " tebak Mia diiringi anggukan kepalaku isyarat rasa kecewa.
"Ya sudah, iklasin aja, siapa tau besok–besok ada kesempatan ketemu artis lagi "
"Duh...hari ini gue sial banget. Sudahlah mau berangkat motor ngadat, eh baru jalan setengah kilo giliran ban yang bocor. Ujung–ujungnya gue batal ketemu Dika deh. Sia...l "
" Eh... nggak hari kali yang sial, lo-nya aja yang lagi apes. Gue sih fun–fun aja" "Terserah..."
"Tuh...kan marah, ntar gue konfirmasi Dika lagi, biar bisa ketemu lo " " Nah itu yang gue tunggu "
" Mau...nya... "
Entah sebuah kebetulan atau mungkin sudah menjadi kebiasan, setiap hari Selasa selalu saja kulalui dengan kesialan. Mulai dari helm kesayanganku yang hilang di parkiran, diserempet oplet, ujian Kimia yang Cuma dapat 0,5, semua terjadi di hari Selasa. Itu sih belum seberapa, di hari yang sama Mio yang merupakan kucing kesayanganku digilas tukang ojek, trus diputusin Dodi juga terjadi di hari Selasa. Pokoknya mulai sekarang I don't like Tuesday banget deh.
Pagi ini merupakan pagi sangat menyebalkan. Bagaimana tidak, hape kesayangan yang disimpan di dalam tas, terus tasnya disimpan lagi di dalam locker, eh nggak taunya barang– barang di dalamnya masih sempat hilang. Lumayan kalo Cuma dompet, flash disc dan jepitan rambut, tapi kalo hape kesayanganku diembat juga kan keterlaluan tuh. Mana kreditannya belum lunas lagi.
"Lo yakin hapenya kebawa? Ketinggalan di rumah kali. "
" Yakin, tadi di kelas masih sempat SMS-an kok"
"Tuh..kan, tadi bilang nggak ada pulsa, tapi masih sempat SMS. Lo telfon aja gih, nih…", tawar Mia sambil memberikan ponselnya.
" Nggak aktif "
" Lo coba lagi, dan kalo nggak bisa juga berarti memang udah ke laut "
" Nggak mau, gimana nih ? "
" Ya gue nggak tau, lagian kasus kaya gini udah nggak asing kali"
"Sekarang hari apa sih?", ujarku yang tidak tau lagi harus berbuat apa.
"Ye… baru hape yang hilang udah linglung gitu, gimana kalo yang lain. Sekarang hari Selasa Non, bentar lagikan jamnya Bu Siska" "Tuh..kan, gue bilang apa. Hari Selasa emang bikin sial. Kayanya gue benar–benar sudah dikutuk ni hari deh" "Ngomong apaan sih? Dikutuk? Emangnya Malin Kundang. Uda..ah, jangan parno gitu, mending coba lagi siapa tau tadi nggak dapet sinyal", tutup Mia sambil mencerna ucapanku.
"Selamat ya ", tidak ada panas apalagi hujan, tiba – tiba Mia menghampiriku sambil menunjukkan hapenya.
"Selamat apaan? "
"Baca aja sendiri, Dika ada waktu tuh ketemu kamu"
"Ini serius, kapan?"
" Selasa depan", jawab Mia singkat." Nggak salah?" Apa harus hari itu?"
" Kenapa? Lo takut ketiban sial lagi?"
"Ye..lo kan tau. Sepertinya pertemuan itu batal lagi"
"Duh...Wili sayang, udah berapa kali gue bilang sih? Nggak ada yang namanya hari sial. Selasa sama aja dengan Rabu, Kamis, Jumat dan yang lain. Percaya deh nggak ada istilah hari sial dan lo nggak dikutuk kok."
"Lo sih nggak ngerasain."
"Nggak ngerasain gimana? Semua orang juga berada di hari yang sama. Lo aja yang sensi, itu makanya kalo ngapa– ngapain baca do'a dulu biar nggak sial.
"Be–te–we , Dika ngasih tau ketemuan dimana ?"
"Lo ditunggu di kafe biru jam tujuh malam", terang Mia yang sudah siap–siap untuk pulang.
Meski penampilanku sedikit berbeda dari biasanya, tapi nggak apa–apalah namanya juga usaha, siapa tau bisa nyangkut di hati Dika, bisa jalan trus jadian. Lumayankan? Paling nggak bisa bikin ngiri Mia dan anak–anak yang lain. Siapa juga yang berani nolak cowok cakep, baik, artis lagi. Pokoknya Dika idaman wanita banget.
Lagi asyik–asiknya menunggu, nggak taunya hape baruku berdering. "Sory bgt Wil. Dika-nya nggak bsa dtg. Katanya sih lagi shooting di luar kota. Sorry ya..".
" Tuh…kan…?"
CERPEN
________________________________________
cinta berat diongkos
Oleh : Arief Kamil | 18-Des-2009, 13:48:06 WIB
KabarIndonesia - Sudah masuk bulan ke dua. Kiriman uang bulanan dari kampung belum juga ku terima. Untunglah teman – teman satu kossan mau mengerti dan rela memberiku subsidiI biaya makan meski sekedar nasi dan tempe.
Sebenarnya aku mengerti dengan keadaan Bapak di kampung. Aku faham betapa susahnya memeras keringat dengan hanya bekerja disawah orang. Apalagi aku sebagai anak sulung juga melanjutkan pendidikan diperguruan tinggi, di kota Padang pula. Itu makanya aku tidak terlalu mengandalkan uang kiriman. Untuk mengatasinya, aku rela melakoni kerja sambilan sebagai penyiar di stasiun radio swasta.
Hasilnya lumayan, meski tanpa sisa karena habis bayar uang semester dan ongkos pulang pergi kuliah,namun aku bersyukur sebab ditahun ketiga ini aku masih tetap bertahan dibangku kuliah. Satu masalah teratasi, tinggal satu hal lagi yang masih memaksaku utuk tetap berfikir mencari jalan keluarnya. Harusnya cinta bukanlah masalah. Cinta adalah kisah indah, hubungan manis dan sarana berbagi dari dua jiwa yang berbeda. Tapi bagiku cinta tak lebih dari sumber masalah. Bibit pertikaian yang seharusnya tidak pernah ada.
Namun, realitanya cinta hanya membuatku tersudut dengan sederetan persoalan, klasik memang. Mungkin aku juga yang bodoh, yang selalu memanjakan Dea dengan segala macam keinginannya. Yang terus saja mengikuti kemauan hingga ujungnya aku sendiri yang menjadi korban. Dea adalah gadis yang dua tahun belakangan mengisi relung hati, cinta pertama yang kebetulan singgah. Mulanya hubungan itu berjalan mulus, nyaris tanpa masalah dan terasa indah.
Namun lambat laun Aku mulai tau siapa Dea sebenarnya. Sosok yang mulanya lembut, penurut dan tidak banyak menuntut, berlahan mulai banyak berubah. Andai keinginannya tidak segera dipenuhi Dea tidak segan – segan mengancam minta putus. Sudah sering gadis itu mengeluarkan kalimat – kalimat yang membuatku kalang kabut dan berusaha memenuhi kemauannya.
Terakhir Dea memintaku membelikan pulsa hape –nya senilai seratus ribu, terus beli casing original seharga seratus dua puluh lima ribu. Bukan itu saja esok harinya Ia juga menuntut agar dibelikan hape CDMA keluaran terbaru. Hitung - hitung pengeluaranku minggu itu berkisar satu jutaan. Untung saja uang semester belum Ku bayar, jadinya masih sempat menunaikan keinginannya.
^^^^ “ Lo serius mo minjam sebanyak itu, nggak kegedean ?, gue sih nggak masalah tapi coba dipikir lagi deh. Uang dua juta nggak sedikit loh. Lagian untuk apa sih ? “, komentar Tata disaat ku utarakan niatku buat pinjam uang padanya. “ Gue serius Ta, kebetulan honor gue belum keluar, ntar gue ganti kok “ “ Gue sih percaya, paling nggak gue tau dong tu duit lo gunain untuk apa. Kalau untuk biaya kuliah, pasti gue kasih “, ujar Tata sedikit curiga. “ untuk bayar semester, sisanya bayar sewa kossan “
Untung sekali aku kenal dengan gadis cantik karyawan bank swasta itu. Meskii awalnya menaruh curiga namun akhirnya luluh juga dengan kebohonganku. Ya…beginilah, demi Dea aku rela ngelakuin apa saja, bohongin siapa saja. Andai gadis itu tidak meminta sesuatu lagi pastinya aku nggak harus jual malu, merendahkan harga diri dii depan Tata. Ya…tapi seperti itulah kenyataannya. Aku tetap saja mengikuti kemauannya, entah untuk sampai kapan. ^^^^^ “ pokoknya klu ntar laptopnya g ada..awas !!,km kan bsa cash bon dulu di kntor atw pnjam sma sapa kek.ingat ya…kalu bsok sampe g ad, qt bneran PUTUS, ngerti ?? “, tulis SMS Dea ditengah hari yang terasa terik.
Hatiku bergetar, keringat dingin bercucuran menyaksikan tulisan singkat bernada ancaman. Otakku telah buntu. Posisiku benar – benar dimanfaatkan Dea untuk memenuhi keinginannya. Kesabaranku benar – benar telah habis. Dea tidak lagi menghargaiku. Tidakkah ia berfikir tentang perjuanganku dalam mempertahankan cinta yang Ia sendiri menghianati ?. apa Dea sadar kalau cinta telah terintimidasi oleh nilai – nilai materi ?.
Dengan berat hati kubalas pesan singkat itu. “ ok, qt Pu..t..us “, klik, SMS pun terkirim. Tanpa menunggu waktu lama, nada panggil ponselku berdering, tertulis nama Dea disana. Irama itu seolah menunggu niat baik ku untuk menjawab. Tapi…..sepertinya hatiku tidak bergetar. Rasa ini benar – benar telah mati. Ya…aku telah mati rasa. Padang, 11 Maret 09
CERPEN
________________________________________
Gara-gara 10.000 Perak
Oleh : Arief Kamil | 09-Des-2009, 21:42:11 WIB
Ide itu bermula dari mulut Nia. Sebenarnya aku dan Afi kurang sependapat dengan rencana itu, kalau bukan saja Nia yang menanggung seluruh dana dan membebaskan kami dari segala pungutan, mungkin liburan semester ini Aku lebih memilih pulang ke Padang, menghabiskan masa liburan, berkumpul dengan sanak saudara yang hampir dua tahun ini Aku tinggalkan. Tapi kalau dipikir-pikir lagi tidak ada salahnya juga melancong ke Bali, seumur-umur baru sekaranglah kesempatan itu datang dan sayang sekali kalau sampai dilewatkan.
“Pokoknya akomodasi, konsumsi dan penginapan gue yang tanggung,“ tawar Nia yang tak kuasa kami tolak.
Ada enaknya juga punya teman anak orang kaya, baik dan tidak perhitungan seperti Nia. Saking baiknya, kalau sampai uang kirimanku telat datangnya, Nia tidak segan-segan memberikan santunan biaya makan sampai pulang pergi kuliah.
Aku, Ifa dan Nia adalah sahabat yang sama-sama di terima di UI lewat jalur khusus. Afi asli Makasar sedangkan Nia orang Jakarta tulen. Meski kami datang dari belahan bumi yang berbeda namun mampu disatukan dalam hubungan manis persahabatan.
"Sudah..., lo berdua jangan kebanyakan mikir, jarang-jarang-kan ada tawaran bagus begini?“
“Iya... deh, Kami ikut,“ Ifa yang sebenarnya ingin sekali berjemur dengan para bule disana menyambut tawaran itu dengan hati riang. Berbeda dengan aku, dengan sedikit jaim tawaran itu ku jawab dengan anggukan kepala.
***
“Luar... biasa!“ ucapku pertama kali menginjakan di tanah Bali. Sungguh sebuah pengalaman indah, ternyata suasana Bali lebih bagus dari pada yang ku lihat dari televisi. Pantas saja Wisatawan asing betah kesini. Pantainya..., wah... tidak ada yang bisa mengalahkan pokoknya. Tidak salah juga Bali menjadi maskotnya Indonesia dimata dunia. Kadang orang sering bingung menjawab jika ditanya tentang Indonesia, mereka lebih mengenal pulau bali ketimbang letak geogarfisnya. Dan meskipun belum pernah datang ke Bali, nama pulau yang elok ini sudah tersebar sampai kepelosok negeri mana-pun.
Taksi yang kami tumpangi melaju mulus meninggalkan bandara. Lagi–lagi untung punya teman seperti Nia, buktinya kami tidak perlu repot-repot buat boking hotel untuk penginapan. Jauh hari sebelum berangkat rupanya Nia sudah memesan kamar. Jadinya tidak perlu antri dan berdesak-desakan dengan para Bule dfalam merebut tempat istirahat yang nyaman.
“Lo tau nggak, kurang afdol rasanya kita ke Bali tanpa menyambangi pantai Jimbaran , makanan di sana paling mantep...,“ ujar Nia berpromosi, membuat Aku dan Ifa jadi penasaran.
“Disana ada nasi Padang nggak?“ Aku yang memang ingin sekali mencicipi makannan khas tanah leluhurku berusaha mencari jawaban.
“Duh..., selera Lo kampungan banget sih, kalau Cuma makan nasi Padang ngapain jauh – jauh datang kesini. Lo coba deh Sea Food atau Japanes food, masakan Italia juga ada,“ balas Nia yang sepertinya menyayangkan keinginanku.
“Waduh... makanan itu kayanya nggak bakalan damai deh di lidah gue,“ protes Ifa yang yakin perutnya bakalan melilit kalau mencoba makanana seperti itu.
“Jangan kampungan dong, ntar di coba saja, gue jamin lo berdua bakalan suka, o... iya disana juga tempat makan favorit keluarga gue loh. Namanya Sari kafe, setiap kami ke Bali pasti kesana,“ terang Nia yang disambut reaksi dingin sahabatnya.
Tidak menunggu waktu lama akhirnya kami sampai juga di kafe yang di promosikan Nia. Namun entah alasan apa mataku tiba-tiba menangkap tubuh seorang bocah yang terlihat kuyu di seberang jalan, jaraknya sekitar 10 meter dari tempat kami berada. Aku tidak tahu dari mana bisikan itu datang hingga merayu niatku untuk mendekati bocah itu.
Memang sih sudah menjadi kebiasaanku mengeluarkan sedikit rupiah jika melihat pengemis, orang tua yang berada di jalan atau seperti bocah itu. Biasanya uang seribu, dua ribu perak tidak terlalu berat kuberikan.
“Tunggu sebentar ya, ada yang nawarin pahala tuh," ujarku pada Ifa dan Nia, mereka terlihat bingung dengan reaksiku yang begitu tiba-tiba.
“Lo mau ngapain Nin?“
“Tenang saja Gue nggak bakalan hilang kok,“ jawabku sambil melangkahkan kaki keluar kafe.
Mungkin sudah panggilan jiwa, setiap kali Aku melihat orang yang kesusahan selalu saja timbul niat untuk membantu, kali ini contohnya.
“Hey... lagi ngapain?“ tegurku seolah tidak tahu apa yang dikerjakan anak laki-laki itu. Ironisnya ia menanggapi kalimatku dengan bola mata yang tajam, tertuju padaku. Uang ribuan di tangannya yang mungkin hasil belas kasihan orang–orang telah cukup ku jadikan bukti kalau ia memang mengharapkan bantuan dari siapa saja yang terketuk pintu hatinya.
“Nih kebetulan kakak ada rejeki lebih, di tabung ya.“ Kuulurkan padanya selembar uang sepuluh ribuan. Tanpa ragu ia menerima pemberianku, ada senyum yang terlihat dari raut mukanya.
Setelah itu aku melangkah pergi, ada kedamaian yang terasa bila bisa membantu dan meringankan beban mereka yang kurang beruntung.
Namun baru tiga langkah berjalan tiba-tiba aku dikejutkan oleh sebuah ledakan hebat yang bersumber dari dalam kafe yang ku masuki tadi. Hamparan kaca berserakan di mana-mana, puluhan manusia yang berada di dalam terlihat panik berhamburan keluar, di antara mereka ada yang berdarah. Sayup-sayup kulihat dua orang perempuan berlari dari arah adalam kafe, Alhamdulillah itu Ifa dan Nia, mereka selamat meski dipenuhi luka akibat pecahan kaca.
Sejenak Aku termenung menyaksikan apa yang baru saja terjadi, sebuah bom meledak tepat di depan mataku. Namun ternyata Tuhan masih sayang dan menyelamatkan ku dari ledakan itu. Andai saja masih ada didalam mungkin nasip akan berkata lain, pastinya mengalami luka-luka seperti korban yang lainnya.
Mungkinkah ini pertolongan Tuhan melalui sedekah tadi? Allah memang maha adil, Ia membuktikan kata-katanya, ternyata sedekah mampu menyelamatkan Aku dari marabahaya yang mengancam. Subahanallah. (*)
Padang, Awal Oktober 2009
Arief Kamil, tulisannya pernah dimuat di Majalah Aneka Yess, Padang Ekspress, Gema Lentera dan 2 Judul Cerbung remajanya di terbitkan oleh harian Singgalang Padang. Sekarang menjadi koresponden media elektronik yang berkantor pusat di Jakarta.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar