Cerpen
Kemerdekan Yang Terenggut
Oleh Arief Kamil
Jarum jam ditanganku menunjukan tepat pukul lima sore. Suasana alam terlihat
begitu bersahabat, alunan angin sepoi-sepoi kian menambah suasana damai dalam
menunggu detik-detik berbuka. Disisi lain, mentari yang sejak siang tadi
memencarkan cahaya teriknya berlahan meredup menunggu gelap malam datang
menjelang. Tanpa terasa perjuangan melawan hawa nafsu dan dahaga yang sejak
siang tadi membelenggu semakin mendekati klimaksnya.
Bagiku menunggu beduk tanda berbuka merupakan momen yang paling ditunggu
kedatangannya. Duduk santai sambil melepaskan pandangan kejalanan adalah cara
jitu dalam mengalihkan rasa haus dan lapar, opsi ini lebih baik dari pada
memandangi santapan berbuka dimeja makan atau bermalas-malasan ditempat tidur.
“ Asalamualaikum”, tiba-tiba lamunanku mendadak buyar. Sesosok wanita separuh
baya dengan seorang bocah kecil didekapannya begitu saja berdiri tepat
dihadapanku. Wajahnya kuyu, pakaian kumuh yang menutup tubuhnya terlihat begitu
lusuh.
“ Sedekahnya Pak.. ! “, belum sempat menuntaskan rasa penasaran, wanita itu
lantas mengulurkan sebuah kotak kayu kearahku.
Tanpa harus berfikir lagi, kurogoh saku kananku. Ada sekitar tiga lembar uang
ribuan didalamnya. Dengan senyum yang terbungkus rasa kasihan, ku ulurkan
lembaran uang itu. Sejenak perasaanku terenyuh, hatiku benar-benar luluh,
perasaan iba menyelinap didinding hati. Garis nasib yang tidak berpihak
memaksanya melakukan apa saja dalam melanjutkan hidup. Bocah kecil yang ada
dalam dekapannya begitu memancing rasa pilu. Tanpa diundang kenangan masa lalu
kembali bermain dipelupuk mata. Nasibku nyaris sama dengan balita mungil itu,
dibesarkan dengan belaian kasih sayang yang dikebiri Negara.
Aku lahir tepat disaat republik ini merayakan kemerdekannya. Duapuluhenam tahun
silam adalah momen pertama kali aku terlahir kebumi. Dunia seakan tidak adil
saat itu, setidaknya begitulah kenyataannya. Bagaimana tidak, saat ibu
melahirkanku, rumah tempat kami berteduh digusur Pemerintah, padahal tempat itu
sudah didiami selama bertahun-tahun. Penderitaan tidak cukup sampai disitu, ayah
yang berjuang agar rumah kami tidak jadi digusur mengalami nasib naas, beliau
meregang nyawa akibat serangan jantung saat dilangsungkan eksekusi.
Mungkin sudah suratan hidup sebagai rakyat terbuang yang diombangambing oleh
kekuasaan sang penguasa, yang tidak memiliki daya kekuatan dalam melawan
arogansi sang pemimpin. Kemerdekaan dan jaminan keadilan hanya milik kaum
berada, bukan untuk kami rakyat jelata.
Akhirnya, dengan linangan air mata ibu terpaksa meninggalkan seluruh kenangan
indah dirumah itu dan memilih hidup dijalanan, mengemis belas kasihan orang
lain. Begitulah , demi menyambung hidup ibu rela melakukan apa saja sama seperti
apa yang dilakukan wanita paruh baya yang ada dihadapanku sekarang. Perempuan
berpakaian kumal didepanku adalah potret kenangan masa silam. Kisahnya
mengadopsi pengalaman pahit yang pernah kualami.
Bagiku kemerdekan yang diagung-agungkan itu hanya sebatas slogan Pemerintah,
sekedar pelengkap perjalanan sejarah bangsa. Kemerdekaan tidak berlaku bagi
rakyat kecil yang tak dianggap seperti pengemis itu. Ia mungkin hanya segelintir
bukti yang tak bisa terbantahkan, sisanya masih banyak rakyat yang termaginalkan
pemerintah dan tetap saja dijajah bangsa sendiri. Situasi miris lainnya masih
terjadi pada mereka yang berada didaerah perbatasan. Masalah ekonomi,
pendidikan, kesehatan dan kehidupan yang jauh dari sebutan layak adalah masalah
klasik yang dihadapi saat negeri ini merayakan kemerdekannya yang ke 65 tahun.
Meski seperti itu keadaannya namun aku masih pantas bersukur, walau pernah
mengalami masa-masa pahit dalam menjalani hidup bersama ibu namun sukurlah
sekarang hidupku sudah agak lumayan, tidak lagi mengemis belas kasihan orang
lain. Biarpun tinggal dirumah kontrakan yang hanya berukuran empat kali lima
meter, namun kurasa jauh lebih baik dari pada tetap membahas tentang arti
kemerdekaan.
Demi menatap hidup, aku rela banting tulang memeras keringat, tak peduli apapun
pekerjaannya yang penting halal dan tidak melanggar hukum. Dengan uang hasil
jerih payahku sebagai karyawan kontrak disebuah perusahaan swasta aku berharap
bisa memerdekakan ibu dari beratnya tuntutan hidup, bisa membuatnya bangga
memiliki anak laki-laki yang begitu menyayanginya, ya.. walau kenyatannya aku
hanya sebagai pesuruh kantor yang digaji dari keringat sendiri.
***
Sejenak kesadaranku kembali pulih, lamunan masa lalu yang sejak tadi menguasai
alam bawah sadar mulai menjauh dari ingatan tatkala suara adzan berkumandang
dari corong sebuah Masjid. Dengan mengucap syukur, kubatalkan puasa hari ini dan
menikmati santapan berbuka bersama sosok wanita yang paling ku cinta. Bagiku
inilah defenisi kemerdekaan itu, sebuah posisi dimana aku masih bisa bersyukur
atas segala keterbatasan, tetap bersahabat dengan kesederhanaan dan selalu
berterimaksih atas nikmat Tuhan. Hal itu jauh lebih bijak dari pada tetap saja
mengemis arti kemerdekaan kepada pemimpin, berharap lepas dari kemiskinan dan
ketidakadilan namun nyatanya harapan itu hanya sebatas mimpi. Kemerdekan
orang-orang sepertiku selalu dirampas oleh oknum pejabat kotor dan barisan
koruptor yang kerap menggerogoti uang Negara.
Aku yakin, keputusanku sudah tepat, tetap bertahan hidup dengan perjuangan
sendiri tanpa mengharap dimerdekakan Negara. Ya..biar kucari sendiri
kemerdekaan yang sudah terenggut itu.
Padang 17 Agustus 2010, saat rakyat jelata mencoba mencari arti kemerdekaan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar